Rabu, 08 Juli 2009

Hidup Penuh Perjuangan

Saat mulai penciptaan manusia, adalah hasil perjuangan. perjuangan beribu sel sperma untuk bisa membuahi ovum. Ketika lahir, seorang bayi juga harus berjuang supaya bisa keluar dari rahim ibunya dengan selamat. Kemudian dia berjuang mempertahankan hidup dengan berupaya menyusu pada sang ibu.
Belajar bergerak, merangkak, berlari dan berbicara adalah perjuangan Bayi untuk menjadi manusia (hayawan natik). Taklif merupakan saat pertama manusia harus berjuang menentukan yang terbaik dalam hidupnya. apakah ia akan memamfaatkan potensi taqwa atau malah mengikuti potensi fujur.

Senin, 06 Juli 2009

Inskripsi Islam Tertua di Indonesia

Judul Buku : Inskripsi Islam Tertua di Indonesia

Penulis : Claude Guillot dan Ludvik Kalus

Tebal Buku : 181 halaman

Masuknya Islam ke Indonesia telah mengukir sejarah tersendiri bagi perkembangan agama di nusantara ini. Sejak masuknya Islam, telah terjadi islamisasi besar-besaran. Sedikit demi sedikit, daerah demi daerah, kerajaan demi kerajaan dan hampir seluruh masyarakat Indonesia beralih kepercayaan dari agama dan kepercayaan sebelumnya ke agama Islam.

Tidak dapat disangkal, terjadi perbedaan dikalangan ahli sejarah seputar awal masuknya Islam ke Indonesia. Selain babad dan hikayat yang berisi penuh legenda, prasasti-prasasti Islam tertua abad ke-15 dan ke-16 dalam bentuk batu nisan dan inkripsi, juga memberikan gambaran penyebaran agama Islam dengan adanya riwayat tentang kisah-kisah tokoh dan pembangunan bangunan-bangunan suci. Namun sayangnya semua prasasti tersebut sebagian besar berbahasa Arab, terlalu singkat dan sukar dipahami maknanya sehingga sangat dibutuhkan penelitian yang teliti dengan membandingkannya dengan sumber-sumber arkeologi dan sejarah daerah lain.

Inkripsi-inkripsi Islam tertua di Nusantara memberikan gambaran tentang pengaruh budaya Islam dan bahasa Arab terhadap kebudayaan Nusantara. Inkripsi ini juga mengisyaratkan betapa kompleknya referensi agama dan politik seorang tokoh agama di Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada abad ke-16. Perjuangan seorang ulama atau tokoh politik sering diabadikan dalam bentuk tulisan-tulisan di Batu Nisan, Meriam, atau dinding mesjid

Penelitian terhadap inkripsi-inkripsi yang tertera di batu nisan, mesjid dan benda-benda peninggalan kebesaran Islam yang menyebar di berbagai pelosok Indonesia telah dilakukan oleh pakar arkeologi dan sejarawan. Misalnya dua orang peneliti Barat Mosquette (Belanda) dan Paul Ravaisse (Perancis). Sebagaimana penelitian-penelitian lain, penelitian yang dilakukan oleh pakar-pakar arkeologi ini belum bersifat final, sehinggga membuka peluang munculnya penelitian baru. Dalam buku ini Claude Guillot dan Ludvik Kalus memaparkan hasil temuan mereka setelah meneliti prasasti yang terdapat di daerah Jawa dan Sumatera. Penelitian kedua tokoh ini memberikan informasi tentang kebenaran penafsiran dan cerita yang selama ini berkembang.

Inkripsi Islam tertua di Indonesia terdapat pada batu nisan Leran (Jawa) berangka tahun 575H/1082 M. Setelah menyeliki bentuk batu dan unsur geografis yang terkait dengan keberadaan batu ini, keduanya menyimpulkan batu-batu ini berasal dari luar Pulau Jawa dan dunia Nusantara, yaitu suatu daerah yang dekat dengan pusat historis dunia Islam. Hal ini menunjukkan telah terjadi kontak dan hubungan antara masyarakat Nusantara dengan daerah-daerah Islam seperti Kairo dan Iran. Kesimpulan ini membantah pendapat Ravaisse. Menurut Ravaisse keunikan relief dan warna serta bentuk batu yang kebiru-biruan membuktikan bahwa batu nisan ini berasal dari lokal bukan diimpor dari daerah lain.

Disamping inkripsi ini juga ditemukan Cap Lobu Tua di Barus (Sumatera). Di atasnya terdapat dua relief timbul bertulisan Allah dan Muhammad. Cap Lobu Tua ini diperkirakan berasal dari abad ke-10 atau ke-11 dari daerah luar Indonesia. Syair melayu yang terdapat di atas salah satu dari kedua batu nisan seorang putri raja di Minye Tujuh, Aceh yang berangka tahun 781 H (1380M) juga menunjukkan adanya pengaruh Arab terhadap kerajaan ini. Sekalipun tulisan-tulisan dalam prasasti ini tidak semua dapat dibaca, karena ada beberapa kata yang sulit dipahami. Namun terlihat pengaruh Bahasa Arab dalam penulisan huruf dan tata letak teksnya.

Informasi baru yang sangat menakjubkan dari hasil kajian Claude Guillot dan Ludvik Kalus ini adalah kisah tentang Hamzah Fansuri, seorang penyair melayu yang terkenal. Dalam penyedikannya di Mekah, Claude Guillot dan Ludvik Kalus menemukan batu nisan di Mekah yang memuat nama Syaykh Hamza bin `abd Allah al Fansûrî, meninggal tanggal 9 Rajab 933 atau 11 april 1957. Diperkirakan nama ini adalah milik penyair sufi melayu yang dikubur di Mekah. Hamzah tidak hidup pada bagian kedua abad ke-16, namun dia telah telah hidup lebih awal. Barus, daerah asal penyair ini pada abad ke-15 telah menjadi pusat-pusat agama dan budaya alam Melayu selama periode sebelum abad ke-17 di samping Pasai dan Malaka.

Claude Guillot dan Ludvik Kalus juga meneliti relief Arab yang terukir di dinding meriam yang terdapat di Banten dan di museum militer Invaliden Bronbeek di Arnhem, Belanda ( meriam ini awalnya terdapat istana Aceh di Kota Raja yang direbut pada tahun 1874 oleh Belanda). Penelitian ini mempertanyakan penelitian sebelumnya yang menjelaskan asal meriam ini dari kerajaan Turki.

Setelah meneliti inkripsi yang terdapat dalan tiga meriam ini, Claude Guillot dan Ludvik Kalus menyimpulkan bahwa meriam ini bukan berasal dari kiriman resmi pemerintah Turki. Mengutip pendapat Crucq, meriam-meriam yang terdapat di Aceh yang berasal dari Turki ini menandakan telah terjadi hubungan antara kerajaan Aceh dengan Turki semenjak abad ke-16 dan adanya pemasokan senjata dan pengiriman artileri oleh Turki ke Aceh namun bukan berasal dari pemerintah Istanbul.

Meriam-meriam ini juga tidak semuanya berasal dari Turki. Dalam meriam lain ditemukan nama nama Chingis Khan. Sehingga dapat dipastikan meriam ini berasal dari Gujarat bukan Turki.

Namun terlepas dari asal meriam ini, jelas telah ada hubungan antara Aceh, Turki dan Gujarat semenjak abad ke-16. Hubungan ini juga telah banyak menyisakan pengaruh budaya Turki terhadap Aceh . Misalnya kelembagaan para kasim, yang di seluruh Nusantara hanya terdapat di Aceh dan penyebaran teori-teori keagamaan seperti wahdah al wujud dan pengaruh syiah dalam upacara Asyura. Pertanyaan yang masih tersisa adalah apakah kemiripan budaya Aceh dengan Turki adalah bukti besarnya peranan orang Turki dalam penyebaran ajaran Mevlana Rumi di kepulauan Nusantara.

Inskripsi Islam Tertua di Indonesia

Judul Buku : Inskripsi Islam Tertua di Indonesia

Penulis : Claude Guillot dan Ludvik Kalus

Tebal Buku : 181 halaman

Masuknya Islam ke Indonesia telah mengukir sejarah tersendiri bagi perkembangan agama di nusantara ini. Sejak masuknya Islam, telah terjadi islamisasi besar-besaran. Sedikit demi sedikit, daerah demi daerah, kerajaan demi kerajaan dan hampir seluruh masyarakat Indonesia beralih kepercayaan dari agama dan kepercayaan sebelumnya ke agama Islam.

Tidak dapat disangkal, terjadi perbedaan dikalangan ahli sejarah seputar awal masuknya Islam ke Indonesia. Selain babad dan hikayat yang berisi penuh legenda, prasasti-prasasti Islam tertua abad ke-15 dan ke-16 dalam bentuk batu nisan dan inkripsi, juga memberikan gambaran penyebaran agama Islam dengan adanya riwayat tentang kisah-kisah tokoh dan pembangunan bangunan-bangunan suci. Namun sayangnya semua prasasti tersebut sebagian besar berbahasa Arab, terlalu singkat dan sukar dipahami maknanya sehingga sangat dibutuhkan penelitian yang teliti dengan membandingkannya dengan sumber-sumber arkeologi dan sejarah daerah lain.

Inkripsi-inkripsi Islam tertua di Nusantara memberikan gambaran tentang pengaruh budaya Islam dan bahasa Arab terhadap kebudayaan Nusantara. Inkripsi ini juga mengisyaratkan betapa kompleknya referensi agama dan politik seorang tokoh agama di Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada abad ke-16. Perjuangan seorang ulama atau tokoh politik sering diabadikan dalam bentuk tulisan-tulisan di Batu Nisan, Meriam, atau dinding mesjid

Penelitian terhadap inkripsi-inkripsi yang tertera di batu nisan, mesjid dan benda-benda peninggalan kebesaran Islam yang menyebar di berbagai pelosok Indonesia telah dilakukan oleh pakar arkeologi dan sejarawan. Misalnya dua orang peneliti Barat Mosquette (Belanda) dan Paul Ravaisse (Perancis). Sebagaimana penelitian-penelitian lain, penelitian yang dilakukan oleh pakar-pakar arkeologi ini belum bersifat final, sehinggga membuka peluang munculnya penelitian baru. Dalam buku ini Claude Guillot dan Ludvik Kalus memaparkan hasil temuan mereka setelah meneliti prasasti yang terdapat di daerah Jawa dan Sumatera. Penelitian kedua tokoh ini memberikan informasi tentang kebenaran penafsiran dan cerita yang selama ini berkembang.

Inkripsi Islam tertua di Indonesia terdapat pada batu nisan Leran (Jawa) berangka tahun 575H/1082 M. Setelah menyeliki bentuk batu dan unsur geografis yang terkait dengan keberadaan batu ini, keduanya menyimpulkan batu-batu ini berasal dari luar Pulau Jawa dan dunia Nusantara, yaitu suatu daerah yang dekat dengan pusat historis dunia Islam. Hal ini menunjukkan telah terjadi kontak dan hubungan antara masyarakat Nusantara dengan daerah-daerah Islam seperti Kairo dan Iran. Kesimpulan ini membantah pendapat Ravaisse. Menurut Ravaisse keunikan relief dan warna serta bentuk batu yang kebiru-biruan membuktikan bahwa batu nisan ini berasal dari lokal bukan diimpor dari daerah lain.

Disamping inkripsi ini juga ditemukan Cap Lobu Tua di Barus (Sumatera). Di atasnya terdapat dua relief timbul bertulisan Allah dan Muhammad. Cap Lobu Tua ini diperkirakan berasal dari abad ke-10 atau ke-11 dari daerah luar Indonesia. Syair melayu yang terdapat di atas salah satu dari kedua batu nisan seorang putri raja di Minye Tujuh, Aceh yang berangka tahun 781 H (1380M) juga menunjukkan adanya pengaruh Arab terhadap kerajaan ini. Sekalipun tulisan-tulisan dalam prasasti ini tidak semua dapat dibaca, karena ada beberapa kata yang sulit dipahami. Namun terlihat pengaruh Bahasa Arab dalam penulisan huruf dan tata letak teksnya.

Informasi baru yang sangat menakjubkan dari hasil kajian Claude Guillot dan Ludvik Kalus ini adalah kisah tentang Hamzah Fansuri, seorang penyair melayu yang terkenal. Dalam penyedikannya di Mekah, Claude Guillot dan Ludvik Kalus menemukan batu nisan di Mekah yang memuat nama Syaykh Hamza bin `abd Allah al Fansûrî, meninggal tanggal 9 Rajab 933 atau 11 april 1957. Diperkirakan nama ini adalah milik penyair sufi melayu yang dikubur di Mekah. Hamzah tidak hidup pada bagian kedua abad ke-16, namun dia telah telah hidup lebih awal. Barus, daerah asal penyair ini pada abad ke-15 telah menjadi pusat-pusat agama dan budaya alam Melayu selama periode sebelum abad ke-17 di samping Pasai dan Malaka.

Claude Guillot dan Ludvik Kalus juga meneliti relief Arab yang terukir di dinding meriam yang terdapat di Banten dan di museum militer Invaliden Bronbeek di Arnhem, Belanda ( meriam ini awalnya terdapat istana Aceh di Kota Raja yang direbut pada tahun 1874 oleh Belanda). Penelitian ini mempertanyakan penelitian sebelumnya yang menjelaskan asal meriam ini dari kerajaan Turki.

Setelah meneliti inkripsi yang terdapat dalan tiga meriam ini, Claude Guillot dan Ludvik Kalus menyimpulkan bahwa meriam ini bukan berasal dari kiriman resmi pemerintah Turki. Mengutip pendapat Crucq, meriam-meriam yang terdapat di Aceh yang berasal dari Turki ini menandakan telah terjadi hubungan antara kerajaan Aceh dengan Turki semenjak abad ke-16 dan adanya pemasokan senjata dan pengiriman artileri oleh Turki ke Aceh namun bukan berasal dari pemerintah Istanbul.

Meriam-meriam ini juga tidak semuanya berasal dari Turki. Dalam meriam lain ditemukan nama nama Chingis Khan. Sehingga dapat dipastikan meriam ini berasal dari Gujarat bukan Turki.

Namun terlepas dari asal meriam ini, jelas telah ada hubungan antara Aceh, Turki dan Gujarat semenjak abad ke-16. Hubungan ini juga telah banyak menyisakan pengaruh budaya Turki terhadap Aceh . Misalnya kelembagaan para kasim, yang di seluruh Nusantara hanya terdapat di Aceh dan penyebaran teori-teori keagamaan seperti wahdah al wujud dan pengaruh syiah dalam upacara Asyura. Pertanyaan yang masih tersisa adalah apakah kemiripan budaya Aceh dengan Turki adalah bukti besarnya peranan orang Turki dalam penyebaran ajaran Mevlana Rumi di kepulauan Nusantara.

Kosa kata Al-Qur`an

Al-Qur'an menegaskan, Ia turun dalam bahasa Arab. Kosakata yang digunakan umumnya digunakan pula oleh masyarakat Arab pada masa turunnya, tapi gaya susunannya yang bukan prosa dan bukan pula puisi, serta keindahan nada yang dihasilkannya menjadikan pakar-pakar bahasa Arab ketika itu mengakui, mereka tak mampu menyusun semacam redaksi ayat-ayatnya.
Walaupun Al-Qur`an menggunakan kosakata yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa turunnya, namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama dengan pengertian-pengertian yang populer di kalangan mereka. Al-Qur`an dalam hal ini menggunakan kosakata tersebut, tetapi bukan lagi dalam bidang-bidang semantik yang mereka kenal. Sehingga tidak jarang kosakata Al-Qur`an berubah pengertian semantik dari kata-kata yang digunakan oleh orang Arab. Di sisi lain, perkembangan bahasa Arab dewasa ini telah memberikan pengertian-pengertian baru bagi kosakata-kosakata yang juga digunakan oleh Al-Quran.
Makna-makna semantik ini, menjadikan sementara pakar menolak penerjemahan Al-Qur`an ke dalam bahasa lain, atau paling tidak menamai terjemah-annya sebagai ’terjemahan makna’ bukan ’redaksi’. Implikasinya tejemahan Al-Qur`an tidak sama dengan Al-Qur`an apalagi menggantikan posisinya. Fazlurrahman mengungkapkan” Al-Quran ..... keagungan serta kemuliaan bentuknya begitu padat, sehingga tidak ada terjemahan dalam satu bahasa Eropa pun yang bisa menggantikannya”. Bahkan Muhammad Abduh, penggagas tafsir yang bercorak adab al ijtima’i menjelaskan bahwa satu kata dalam al Quran paling kurang memiliki lima makna.
Al-Qur`an memiliki kosakata yang unik. Keunikan ini terletak pada banyaknya kata yang ambigu, yang tidak jarang satu kata memunyai dua atau tiga arti yang berlawanan. Satu huruf saja bisa mempunyai lebih dari satu arti sesuai dengan kata yang menyertainya. Misalnya huruf ”waw”. Pada umumnya berarti ”dan”, tapi bisa juga bearti ”demi” bila dipakaikan untuk kata-kata sumpah. Namun, bisa juga ditemukan satu kata yang hanya mempunyai makna pasti saja. Problem transmisi makna dari teks arab Al-Qur`an ke dalam bahasa selainnya, kemudian menjadi ’critical point’ bagi peminat studi Al-Quran.
Dalam hal ini seseorang tidak bebas untuk memilih pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosakata pada masa pra-Islam, atau yang kemudian berkembang. Seorang mufasir atau penerjemah, disamping harus memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, juga harus memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap setiap kosakata, dan mendahulukannya dalam memahami kosakata tersebut daripada pengertian yang dikenal pada masa pra-Islam. Bahkan secara umum tidak dibenarkan untuk menggunakan pengertian pengertian baru yang berkembang kemudian.
Oleh karena itu sangat diperlukan adanya kajian kosakata Al-Qur`an dan Tafsirnya, supaya tidak terjadi kekeliruan dalam memahami Al-Qur`an, khususnya bagi masyarakat Indonesia yang pada umumnya tidak memahami Bahasa Arab secara baik.

Tersandung

Perjalanan hidup manusia penuh dengan teka-teki. betapa sering kita mengeluh disaat ditimpa hal-hal yang tidak menyenangkan. Kita sering menuntut sebuah keidealan, padahal kemana dicari sosok ideal yang tidak memiliki kekurangan sedikitpun.

Kerikil2 kecil sering menjadi batu sandungan yang tidak jarang mengalirkan darah segar hingga langkah kita terhenti. sedang jalan yang akan ditempuh masih sangat jauh. Luka yang timbul jangan menyurutkan kemauan kita untuk terus melangkah. Jadikan ia sebagai perhentian sejenak buat menambah energi

Mencapai puncak gunung yang menjulang membutuhkan kesabaran dan kekuatan. Karena bukan hanya kerikil yang ditemukan, terjalnya lereng, licinnya bebatuan, rimbunnya pepohonan juga menjadi penghambat. Semua itu memaksa kita untuk tegar menghadapi segala rintangan.

Ketika setitik air membasahi kerongkongan, terasa beban yang dihadapi berkurang. hembusan angin di teriknya panas mengalirkan semangat baru untuk mengejar keinginan.

Tatkala puncak semakin dekat, hati terasa melonjak. ingin rasanya segera naik ke puncak tertinggi. Menyaksikan indahnya alam. memandang keangkasa. siapa lagi yang bisa mengungguli. semua terasa rendah kala kita berdiri di punjak yang menjulang

Namun sayang, Kegembiraan yang meluap menjadi sarang kebinasaan. emosi yang menggebu membuat batu kecil kurang terlihat. kaki pun terpeleset. badan menyelorot kebawah. tangan tak bisa lagi mengapai pegangan. berdiri di puncak gunung cuma menjadi angan-angan yang ikut terkubur bersama tubuh yang terus meluncur tampa ada yang bisa menghalangi.