Kamis, 16 April 2009

Kesalahan Penafsiran

Pendahuluan

Ilmu tafsir merupakan ilmu yang menempati posisi yang mulia dan strategis. Al-Ashfahani dengan kalimat yang indah mengungkapkan ”sebaik-baik pekerjaan yang dilakoni manusia adalah menafsirkan Al-Qur`an. Kemulyaan ilmu tafsir dapat dilihat dari tiga segi. Pertama; dari segi objek bahasannya yaitu kalamullah yang melahirkan beribu hikmah dan sumber dari segala keutamaan. Kedua; dari segi tujuan yakni berpegang dengan tali yang kokoh untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki yang tidak akan pernah hilang. Ketiga; dari segi kebutuhan manusia terhadapnya. Dimana kesempurnaan agama atau kebahagiaan dunia dan akhirat sangat membutuhkan pengetahuan keagamaan dan ini berkaitan dengan pengetahuan tentang kitab Allah.[1]

Al-Qur`an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Karenanya, Al-Qur`an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir yang berkembang merupakan usaha untuk membedah makna terdalam dari Al-Qur`an itu.

Penafsiran Al-Qur`an telah berlangsung sejak zaman Rasul. Rasul sendiri adalah mufassir awal sesuai dengan kapasitasnya sebagai penyampai wahyu dan menjelaskannya kepada umat. Hal ini berlanjut pada zaman sahabat, tabi’in dan terus berlangung sampai dewasa ini. Hanya saja berbeda dengan Al-Quran yang isinya mutlak benar karena berasal dari zat yang maha mengetahui, tafsir tidak luput dari kekurangan bahkan kesalahan. Pengaruh perbedaan mazhab dan aliran turut mewarnai perbedaan penafsiran. Bahkan adanya fanatisme yang berlebihan dari seorang mufassir sering kali melahirkan kesalahan-kesalahan pada produk tafsir yang dia hasilkan.

Metode Tafsir yang Sahih

Tujuan ilmu tafsir adalah mengetahui makna ayat-ayat Al-Qur`an dan mengungkap hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Oleh Karena itu untuk bisa menafsirkan Al-Qur`an diperlukan metode yang benar dan cara yang teliti sehingga seorang mufassir tidak tergelincir kedalam kesalahan. Imam Masru` rahimahullah pernah mengingatkan umat Islam untuk berhati-hati dalam menafsirkan Al-Qur`an. Dia berkata:

اتقوا التفسير فإنه رواية من الله

“Berhati-hatilah dengan tafsir karena ia adalah riwayah yang berasal dari Allah”.[1]

Pemahaman paling benar akan makna Al-Qur`an sebagaimana yang disebutkan oleh Ţāhir Mahmud Muhammad Ya’kūb dalam disertasinya ini, akan didapat apabila metode yang digunakan adalah metode tafsir al-maksur atau tafsir dengan riwayat yang sahih. Dengan metode ini seorang mufassir akan terbebas dari dari penyimpangan dan kesalahan dalam memahami ktabullah.

Tafsir al-Maksur merupakan tafsir yang paling utama dan paling kuat. Karena tafsir ini berasal dari Allah Swt sebagai zat yang menurunkan Al-Qur`an, atau berasal dari Rasul sebagai penyampai dan penjelas wahyu, atau tafsir yang berasal dari sahabat yang hidup disaat wahyu diturunkan, dimana mereka mengetahui takwilan ayat dan belajar langsung kepada Rasul, atau berasal dari tabi’in sebagai penerus sahabat, yang belajar dan mengambil ilmu langsung dari mereka. Hanya saja ulama berbeda pendapat apakah tafsir tabi’in termasuk kedalam jenis tafsir al-maksur atau tafsir bil-rakyi. Hanya saja Ţāhir Mahmud Muhammad Ya’kūb tidak menjelaskan perbedaan ini. Dia hanya menyebutkan pendapat mayoritas ulama bahwa tafsir tabi’in termasuk tafsir bil-maksur dengan melihat kapasitas tabi’in sebagai generasi yang mendapatkan ilmu langsung dari sahabat dan mereka hidup sezaman dengan sahabat Rasul.[2]

Dalam referensi lain kita bisa menemukan perbedaan ini tidak hanya seputar tafsir tabi’in, namun juga tafsir sahabat. Perkataan sahabat yang secara ijma dianggap sebagai sumber tafsir al-maksur adalah perkataan yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak tidak menjadi lapangan ijtihad, seperti penjelasan tentang asbāb al nuzūl dan ijma’ sahabat. Sedangkan perkataan yang bersifat individual yang berkaitan dengan penafsiran, ulama berbeda mengenai hal itu. Begitu juga dengan penafsiran tabi’in. perbedaan ulama seputas itu sangat banyak. Imam Abu Hanifah termasuk orang yang menolak perkataan tabi’in sebagai sumber tafsir al-maksur dengan alasan mereka juga tidak terbebas dari kesalahan karena sama-sama manusia biasa. Penafsiran tabi’in juga berdasarkan pada ijtihad sebagaimana penafsiran yang dilakukan generasi sesudah mereka. Dengan kalimat lugas Abu berkata;

هم رجال و نحن رجال.[3]

Sekalipun tafsir al-maksur adalah tafsir berdasarkan nas dan riwayat baik dari rasul, sahabat atau tabi’in, namun tidak menafikan peran akal dalam penerapan metode ini. Seorang mufassir harus berijtihad untuk menemukan hubungan ayat yang satu dengan yang lainnya, berijtihad untuk menyeleksi hadis yang menafsirkan ayat Al-Qur`an. Makanya tafsir dengan corak ini juga tidak terbebas dari kesalahan. Sangat diperlukan ijtihad dan ketelitian pembaca untuk menyeleksi tafsir yang benar dan yang salah. Dalam tafsir al-maksur, syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah riwayat yang diambil harus sahih.

Metode lain dalam menafsirkan Al-Qur`an adalah menafsirkan Al-Qur`an dengan akal atau dikenal dengan istilah tafsir bil-rakyi. Dalam penerapannya terdapat tafsir bil-rakyi yang bisa diterima (tafsir bil-rakyi al mahmud) dan tafsir bil-rakyi yang tertolak (tafsir bil-rakyi al mazmum). Ţāhir Mahmud Muhammad Ya’kūb menyebutkan dalam disertasinya empat macam tafsir bir-rakyi yang dibolehkan yaitu:

1. Pendapat atau ijtihad sahabat yang merupakan umat yang paling tahu dan paham dengan Al-Qur`an, menyaksikan proses turunnya wahyu dan mengetahui takwilan ayat .

2. Akal yang digunakan untuk menafsirkan teks Al-Qur`an, menjelaskan dilalahnya serta menerangkan cara mengambil hukum dari ayat Al-Qur`an.

3. Penafsiran bil-rakyi yang umat telah sepakat menerimanya, baik dari kalangan salaf ataupun khalaf. Karena kesepakatan ini menunjukkan kebenaran pendapat tersebut.

4. Penafsiran ini dilakukan setelah terlebih dahulu berusaha menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an, hadis nabi atau perkataan sahabat.

Untuk sampai pada metode penafsiran yang benar, seorang mufassir harus memperhatikan syarat-syarat dan kaedah yang harus dipenuhi. Syarat dan kaedah ini ada yang berkaitan dengan cara dan metode penafsiran dan ada yang berkaitan dengan keilmuawan mufassir.

Dalam kajian ini, Ţāhir Mahmud Muhammad Ya’kūb menyebutkan 18 syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir sebelum menafsirkan Al-Quran. Diantaranya;

1. Akidah dan pikiran yang benar.

2. Niat yang ikhlas dan maksud yang lurus.

3. Memiliki motifasi untuk mentadaburi ayat Al-Qur`an dan mengamalkannya.

4. Mengetahui ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur`an dan tafsirnya.

5. Berpegang dengan riwayat yang sahih.

6. Menguasai Bahasa Arab.

7. Tidak tergesa-gesa mengambil makna bahasa sebelum meneliti riwayat yang terkait.

8. Apabila terdapat perbedaan seputar I’rab, maka wajib memilih I’rab yang sesuai dengan riwayat yang sahih.

9. Mengetahui kaedah-kaedah yang diperlukan dalam menafsirkan Al-Qur`an yang telah dirumuskan oleh ulama salaf.

10. Mengetahui kaedah tarjih.

11. Membersihkan diri dari hawa nafsu dan fanatisme mazhab.

12. Tidak mengambil perkataan ahli bid’ah.

13. Menghindari riwayat israiliyat.

14. Menghindari masalah-masalah kalam dan filsafat.

15. Tidak memaksakan diri dalam tafsir ilmi.

16. Jujur, dan benar dalam mengutip hadis dan perkataan ulama.

17. Mendahulukan orang yang lebih utama ilmunya ketika mengutip.[4]

Sebab-sebab Kesalahan dalam Penafsiran Al-Qur`an

Menafsirkan Al-Qur`an bukanlah suatu perkara yang mudah, karenanya ia memerlukan persyaratan-persyaratan yang ketat melalui proses penguasaan berbagai ilmu alat sehingga seseorang layak disebut mufassir. Penguasaan ilmu alat saja tidak cukup, apabila mufassir tidak memahami metode penafsiran. Ketidak tahuan akan metode ini akan menyebabkan kesulitan mufassir dalam menafsirkan Al-Qur`an. Bahkan cendrung pada kesalahan.

Az\-Z|ahabiy dalam bukunya “Tafsi}r wa Mufassiru>n” mengemukakan bentuk-bentuk penyimpangan penafsiran Al-Qur'an dapat dikembalikan pada 3 faktor. Pertama: Berkaitan dengan subyektivitas mufasir. Ini terlihar dari kecenderungan-kecenderungan para mufassir untuk menafsirkan Al-Qur`an menurut seleranya, mazhabnya, bidang kajian yang diminatinya atau bahkan kecenderungan lain yang berkaitan keinginan-keinginan pribadi atau kelompok. Kedua: Berkaitan dengan konteksnya, baik pembicaraan, ruang dan waktu atau dalam konteks sosial kemasyarakatan yang lebih luas. Ketiga: berkaitan dengan kekurangan penguasaan ilmu pokok dan bantu dalam menafsirkan Al-Qur'an. Ini kita bisa dilihat pada kasus penafsiran yang dilakukan oleh para ilmuwan yang tidak memiliki Ilmu pokok (dalam menafsirkan Al-Qur`an) secara memadai atau mufassir yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pokok, tetapi kurang menguasai ilmu bantu. Misalnya, jika seorang ilmuwan berupaya mengaitkan kebenaran penemuan ilmiahnya dengan statemen-statemen Al-Qur`an.

Apa yang dikemukakan Ţāhir Mahmud Muhammad Ya’kūb dalam disertasinya ini, tampaknya tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Az\- Z|ahabiy di atas. Hanya saja dalam kajiannya, Ţāhir Mahmud Muhammad Ya’kūb menjelaskan sebab-sebab kesalahan tersebut secara terperinci. Kelebihan laiinya, sebelum masuk kepada penyebab kesalahan yang ditemukan, dia menjelaskan terlebih dahulu metode yang seharusnya ditempuh oleh mufassir disertai dengan paparan tentang perkataan ulama mengenai hal itu.

Ada empat penyebab timbulnya kesalahan penafsiran yang sering ditemukan dalam kitab-kitab tafsir yang ada:

Pertama: Berpaling dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan sahih.

Ibarat sebuah rumah yang tidak dapat berdiri tanpa adanya pondasi yang kuat, disiplin ilmu apapun namanya membutuhkan dasar dan kaidah tersendiri yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang bergelut dengan ilmu tersebut. Dasar, yang dalam istilah arabnya disebut uşul merupakan unsur penting yang menjadi penguat suatu ilmu. Seseorang tidak akan sampai pada kesimpulan yang benar, apabila hanya berpedoman kepada kaedah-kaedah umum dan tidak memperhatikan uşul ini.

Sama halnya dengan dasar (us}ul) di atas, sumber yang otentik juga merupakan kunci kebenaran hasil sebuah penelitian. Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam metode ilmiah, adalah sumber yang digunakan harus sumber primer dan otentik. Begitu juga dengan ilmu tafsir, seorang mufassir harus menggunakan sumber-sumber tafsir yang asli dan otentik demi menghasilkan penafsiran yang benar.

Terjadinya kesalahan dalam penafsiran sering kali disebabkan oleh tindakan mufassir yang mengabaikan sumber-sumber primer yang sahih dan beralih pada sumber-sumber yang lemah. Ţāhir Mahmud Muhammad Ya’kūb menyebutkan ada sembilan unsur yang termasuk dalam kategori ini. Diantaranya;

1. Mengunakan ijtihad dalam menafsirkan ayat, padahal ada nas lain yang menjelaskan maksud ayat tersebut.

Nas dalam ilmu ushul fiqh yaitu suatu lafaz yang memiliki makna yang jelas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Berbeda dengan defenisi ini, Nas al mufassir (nas yang menjelaskan maksud ayat) yang dimaksudkan Ţāhir Mahmud Muhammad Ya’kūb disini adalah ayat Al-Qur`an, baik ayat ini berada langsung setelah ayat yang ditafsirkan atau terdapat dalam surah yang berbeda, hadis sahih, perkataan sahabat yang diketahui tidak ada sahabat lain yang menyalahinya dan ijma’ ulama tafsir.

Nas yang termasuk dalam kategori ini adalah nas-nas yang terkait langsung dengan pemahaman ayat, baik jawaban dari pertanyaan, penjelasan tentang asbabun nuzul, penjelasan sahabat tentang makna kata-kata yang musykil, penafsiran Nabi akan makna ayat sebelum membacanya.

Meskipun menafsirkan Al-Quran dengan Al-Qur`an atau riwayat yang sahih merupakan metode tafsir yang paling benar dan utama. Hanya saja sebagian mufassir mengabaikan metode ini. Mereka menafsirkan Al-Qur`an mengunakan ra’yi atau ijtihad sendiri. Sebelum melihat ayat Al-Qur`an dan riwayat yang berhubungan dengan tafsiran ayat tersebut. Hal inilah yang menimbulkan kesalahan pada produk tafsir yang mereka hasilkan.

2. Berpegang pada hadis maudu’ dan da’if

Salah satu metode yang benar dalam menafsirkan Al-Qur`an adalah menafsirkan Al-Qur`an dengan hadis sahih. Imam Alusi sebagaimana dikutip oleh Ibn Hayyān dalam mukadimah tafsirnya mengkritik mufassir yang memasukkan kedalam tafsirnya riwayat-riwayat yang tidak sahih. Dia berkata “ … begitu juga mereka mencantumkan dalam kitab tafsir mereka riwayat-riwayat da’if tentang asbāb al nuzūl, hadis-hadis tentang keutamaan surah, hikayat-hikayat bohong, dan cerita israiliyat, padahal semua ini tidak pantas dimasukkan dalam kitab tafsir”.[5]

Dari hasil penelitiannya, Ţāhir Mahmud Muhammad Ya’kūb menemukan beberapa kitab tafsir yang memuat hadis daif bahkan maudu’. Hadis-hadis ini kebanyakan berhubungan dengan penjelasan tentang keutamaan surah, nama surah, asbāb al nuzūl, dan masalah-masalah akidah, seta kisah-kisah nabi dan umat terdahulu. Contoh sebab nuzul ayat 14 surat Al-Baqarah.

Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ayat ini turun berkenaan dengan kasus Abd Allah ibn Ubay dan sahabat-sahabatnya. Pada suatu hari mereka keluar dan berjumpa dengan sahabat-sahabat Rasul. Abd Allah bin Ubay berkata pada sahabat-sabatnya. Lihatlah apa yang diinginkan oleh orang-orang bodoh diantara kamu. Kemuddian dia pergi dan memegang tangan Abu Bakar dan memujinya, kemudian memegang tangan Umar dan Ali dan juga memujinya. Setelah itu dia menjauh dari para sahabat dan kembali menemui kaumnya dan berkata, lakukanlah sebagaimana yang kalian melihat aku melakukannya. Kaumnya pun melakukan seperti yang diperbuat Abd Allab ibn Ubay. Mereka menemui para sahabat dan memujinya. Umat Islam kemudian menyampaikan kejadian ini kepada Rasul. Lalu turunlah ayat ini.

Hadis ini diriwayatkan dari Muhammad ibn Marwan dari Muhammad ibn Sāi`b al Kalbiy dari Abi Shaleh. Silsilah ini merupakan silsilah kazb (rangkadian pewari yang terkenal sebagai pendusta).[6] Sayangnya, beberapa mufassir memuat riwayat ini dalam kitab tafsirnya. Seperti, As\-S|a’labiy, Az\-Z|amakhsyari, Al-Baid}awi, dan Al-Wa>hidi dan Al-H}azen. Hal inilah menurut Ţāhir Mahmud Muhammad Ya’kūb yang menyebabkan kesalahan tafsir yang dihasilkan.[7] Dari penelitiannya, dia menemukan kitab-kitab tafsir yang banyak memuat hadis-hadis da’if dan maudu’. Diantaranya, Syifa> as-S}ud}u>r karangan Abu Bakr an-Nuqasy, al-Kasya>f wa al-Baya>n ‘an Tafsi>r Al-Qur’a>n karangan Abu Ishaq as\-S|a’labiy, Tafsi>r Abi Hasan al- Wa>hidiy, Luba>b al Ta`wi>l fi Ma’ani> al-Tanzi>l karangan Abu hasan al H}a>zen, al-Kasya>f karangan Z|amakhsyariy, Anwa>r al Tanzi>l karangan al- Baid}awiy, dan Isya>d al-Aql al-Sali>m ila> Maza>ya> Al-Qur`a>n al Kari>m karangan Abu Su’ud.

3. Mengambil riwayat Israiliyat

Tidak dapat dipungkiri, kisah-kisah israiliyat[8] banyak terdapat dalam kitab tafsir, baik yang bercorak al-maksur maupun al-rakyi. Berbeda dengan zaman sahabat, dimana mereka sangat berhati-hati dalam mengambil riwayat israiliyat, pada masa tabi’in dan masa-masa sesudah itu kehatian-kehatian ini semakin berkurang. Imbasnya kisah-kisah israiliyat banyak mempengaruhi penafsiran mereka. Sikap ulama tafsir pun berbeda-beda dalam mengambil riwayat Israiliyat. Ada yang bersikap hati-hati dan hanya mengambil riwayat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan sunnah, seperti Ibn Kasir. Ada yang bersikap sebaliknya, mereka tidak menyeleksi riwayat israiliyat yang dicantumkan dalam kitab tafsir mereka, seperti al-Tabariy. Dan Ada yang sama sangat mengantimasi masuknya kisah-kisah israiliyat dalam kitab tafsirnya , seperti imam Alusi. Hanya saja kalau kita perhatikan kitab tafsir mereka masih ditemukan kisah-kisah israiliyat, hanya saja setelah mengutip kisah ini mereka menjelaskan kualitas kisah yang dikutip. Tujuan dari penyebutannya tidak lain adalah untuk menjelaskan letak kesalahan dan kebohongan kisah tersebut.

4. Berpegang pada prasangka dan hikayah

Yang dimaksud dengan prasangka dan hikayat disini adalah berita-berita, cerita dan dongeng orang-orang terdahulu yang digunakan dalam penafsiran Al-Qur`an, padahal ia tidak memiliki dasar dari Al-Qur`an, sunnah dan ijma’ umat serta tidak memiliki sanad yang sahih.

Cerita-cerita ini sering kali digunakan untuk menjelaskan persoalan-persoalan akidah, hal-hal gaib dan masalah-masalah keagamaan lainnya. Pengunaan hikayat ini merupakan kesalahan yang fatal. Al-Qur`an sendiri mengingatkan umat Islam untuk berpegang dengan dalil yang kuat dan menghindari prasangka.

5. Hanya berpedoman pada makna bahasa semata dan mengutamakannya dibanding riwayat yang sahih.

6. Berpegang pada kewajiban yang bersifat majaziah dan tunduk pada tamsil dan imajinasi.

7. Terlalu mendalam dalam membicarakan filsafat dan ilmu kalam.

8. Hanya mengandalkan rakyi dan mengutamakannya dari pada riwayat yang sahih

Akal merupakan pemberian dan nikmat Allah yang sangat besar. Dengannya manusia dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Dalam disiplin ilmu tafsir, penggunaan akal dalam menafsirkan Al-quran termasuk kedalam salah satu metode penafsiran Al-Qur`an. Walaupun begitu, dalam menafsirkan Al-Qur`an, seorang mufassir tidak boleh hanya berlandaskan pada akal semata dan mengabaikan naql. Orang yang hanya mengunakan akal, akan melahirkan tafsir bil-rakyi al mazmum (tidak diterima.)

9. Mengambil perkataan dari ahli bid’ah dan mengikuti hawa nafsu.

Kedua: tidak teliti dalam memahami teks ayat dan dilalahnya.

Faktor lain yang dapat menyebabkan kesalahan dalam penafsiran Al-Qur`an adalah ketidaktelitian mufassir dalam memahami teks dan dilalahnya. Hal ini bisa terlihat ketika seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur`an berhadapan dengan ayat-ayat yang nasakh dan mansukh.

Persoalan nasakh wa mansūkh termasuk cabangan ilmu Al-Qur`an yang banyak menuai perbedaan dikalangan ulama. Perbedaan ulama tidak hanya seputar ada atau tidaknya nasakh dalam Al-Qur`an, namun juga ketika menetapkan ayat yang telah dinasakh.

Secara segi etimologi, nasakh bearti mengangkat atau menghilangkan, disamping itu ia juga memiliki pengertian menyalin (nasakhtu al Kitāb=saya menyalin kitab). Tapi secara umum, nasakh bearti mengubah, mengangkat, atau mengganti ketentuan yang ada. Dalam persepsi Ilmu fiqh, nasakh adalah mengganti hukum-hukum yang sudah ada dengan hukum baru yang datang sesudah itu. Karena itu untuk mengetahui nasakh dan mansukh ini, maka harus diketahui mana ayat-ayat yang dianulir dan mana ayat-ayat yang ditetapkan untuk menggantikan posisi ayat pertama. Seorang mufassir harus jeli dalam menetapkan ayat yang nasakh dan mansukh karena hal ini akan sangat berpengaruh terhadap tafsiran ayat.

Ketidaktelitian dalam memahami teks Al-Qur`an juga terjadi ketika mufassir mengutip pendapat dari kitab-kitab tafsir. Sebagian mereka tidak menyeleksi riwayat atau perkataan yang diambil, malah menyamaratakan antara riwayat yang da’if dan sahih. Sudah masyhur bahwa sebagian besar kitab tafsir masih dipenuhi oleh hadis-hadis da’if, kisah-kisah bohong, kejadian-kejadian yang tidak masuk akal, dan perkataan yang tidak berhubungan dengan tafsiran ayat. Mengomentari hal itu, Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan “ ada tiga buku yang tidak memiliki dasar referensi yaitu buku tentang perperangan, vabel, dan tafsir.”

Ketiga; menundukkan nas Al-Qur`an untuk kepentingan hawa nafsu, fanatisme mazhab, dan bid’ah

Kesalahan penafsiran terkadang disebabkan oleh tindakan sebagian mufassir dan orang yang menekuni ilmu Al-Qur`an yang menjadikan nas Al-Qur`an sebagai legimatimasi untuk menguatkan pendapat, mazhab dan aliran mereka. Pemahaman ayat diselaraskan dengan kepentingan mazhab.

Tāhir Mahmūd Muhammad Ya’qūb menegaskan kecendrungan seperti ini merupakan metode tafsir yang paling berbahaya dan paling buruk. Karena seorang mufassir berangkat dari keyakinan dan asumsi awal yang tidak memiliki landasan, kemudian mencari ayat-ayat yang sesuai dengan keyakinan dan asumsi mereka sebagai penguat. sehingga terkesan adanya pemaksakan pemahaman. Suatu ayat tidak lagi dipahami sebagaimana mestinya, tapi diarahkan untuk mendukung pemahaman mazhab yang dianut mufassirnya.

Tak pelak lagi, fanatisme yang berlebihan baik dalam mazhab fiqh, akidah, atau politik menyebabkan lahirkan taqlid buta, pengagungan dan penyucian terhadap satu individu dan pemikirannya. Orang cendrung mengabaikan ajakan Al-Qur`an untuk berpegang dengan Al-Qur`an dan sunnah dan berpaling dari dalil yang sahih.

Jiwa besar imam-imam terdahulu cukup menjadi pelajaran berharga bagi generasi sekarang ini. Mereka adalah orang-orang yang tawadu’ dan senantiasa memotifasi pengikutnya untuk selalu menganalisa setiap perkataan yang diterima. Kehatian-hatian mereka dapat tercermin dari salah satu perkataan Imam Abu Hanifah dibawah ini;

إن توجه لكم دليل فقولوا به.[9]

Apabila dihadapkan padamu satu dalil, maka komentarilah

Seseorang muslim yang baik, sejatinya harus menghormati ulama-ulama terdahulu yang telah berijtihad dengan penuh keihlasan untuk menemukan kebenaran, mengakui keutamaan dan ilmu mereka, tidak menganggap mereka terbebas dari kesalahan, dan menghilangkan fanatisme yang berlebihan dengan mazhab tertentu.

Keempat; mengabaikan sebagian syarat-syarat mufassir

Tafsir sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentu memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Penafsiran Al-Qur`an tidak akan sempurna tanpa adanya pemenuhan persyaratan tersebut .Imam Ibn Taimiyah dalam al majmu’ al fatāwa mengemukakan ” setiap manusia harus memiliki suatu dasar umum yang menjadi sandaran aspek-aspek yang terkait dengannya supaya dapat berbicara dengan dasar ilmu yang kuat dan penuh keadilan serta mengetahui segala rincian bagamana ia terjadi. Apabila hal ini diabaikan, maka yang akan tertinggal adalah kebohongan dan ketidaktahuan dengan hal-hal yang juz`i (khusus) dan ketidaktahuan serta kekaburan dengan masalah yang umum (kulli). Hal ini akan melahirkan kerusakan yang besar”.

Berangkat dari fatwa ibn Taimiyah tersebut, Tāhir Mahmūd Muhammad Ya’qūb menemukan empat hal yang termasuk kedalam masalah ini:

1. Menyepelekan penerapan kaidah tarjih yang dirumuskan ulama tafsir.

Yang dimaksud kaidah tarjih disini adalah kaidah umum atau dasar-dasar pokok yang digunakan untuk mengetahui pendapat yang paling kuat ketika terjadi perbedaan pemahaman ketika menafsirkan Al-Qur`an.

Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam menafsirkan Al-Qur`an. Keterbatasan kemampuan manusia, ditambah dengan perbedaan metode yang digunakan menjadi salah atu sebab perbedaan ini. Hal terpenting yang harus diperhatikan bagaimana seorang yang ingin memahami Al-Qur`an bisa objektif dalam menilai perbedaan ini dan berusaha mencari pendapat yang paling kuat.

Tāhir Mahmūd Muhammad Ya’qūb dalam penelitiannya ini menyebutkan kaidah-kaidah tarjih yang sering diabaikan oleh sebagian mufassir.

a. Qiraah mutawatir lebih didahulukan daripada makna qiraat syaz.

Apabila terdapat perbedaan penafsiran karena disebabkan oleh perbedaan qiraat, seorang mufassir harus mendahulukan makna yang dikandung qiraat mutawatir daripada makna yang dikandung qiraat syaz. sebab dari segi kualitas qiraat mutawatir lebih kuat. Hanya saja sebagian mufassir mengabaikan kaidah ini, mereka mengutamakan qiraat syaz dalam penafsiran.

Sebagai contoh, firman Allah

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا

وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syi’ar (agama) Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha mensyukuri, Maha mengetahui

Sebagian ulama berpendapat bahwa sa’i dari safa ke marwa hukumnya sunnah. Mereka berlandaskan pada qiraah syaz

...فلا جناج عليهما أن الا يطوف بهما...

Penafsiran seperti ini bertentangan dengan pendapat jumhur ulama bahwa sa’i merupakan rukun haji yang tidak boleh ditinggalkan, berpedoman pada makna qiraat mutawatir.[10]

b. Penafsiran dan penjelasan i’rab yang sesuai dengan rasm usmani lebih utama Dibandingkan penafsiran yang berbeda dengan rasm utsmani.

apabila terjadi perbedaan antara mufassir mengenai tafsiran suatu ayat atau penjelasan makna kosakata, atau penjelasan i’rab, maka penafsiran dan i’rab yang sesuai dengan rasm utsmani yang diperpegangi.

Kesalahan penafsiran menurut penelitian Tāhir Mahmūd Muhammad Ya’qūb sering kali disebabkan oleh tidak diperhatikannya kaedah ini. Sebagai contoh perbedaan mufassir tentang makna ayat

سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَى[11]

Kami kami membacakan Al-Qur`an untuk kamu, maka janganlah kamu lupa”

Ulama berbeda pendapat tentang i’rab Menurut jumhur dalam ayat ini adalah nāfiah (لا). Ini merupakan pendapat yang kuat karena sesuai dengan rasm usmani, dimana terdapat alif dalam kalimat (تَنْسَى). Tidak dibuangnya alif dalam kalimat ini menandakan bahwa dalam ayat ini bukan nāhiah.

Sebagian ulama berpendapat dalam ayat ini adalah nāhiah, sedangkan alif disini berfungsi sebagai pembatas.

Dalam kasus seperti ini, seyogyanya seorang mufassir harus mengmabil pendapat yang kuat, bukan sebaliknya.[12]

c. Mensinkronisasikan makna suatu kalimat dengan kalimat sebelum dan sesudahnya.

d. Apabila terjadi perbedaan penafsiran disebabkan oleh perbedaan asbab nuzul yang digunakan, penafsiran yang sesuai dengan sabab nuzul yang sahih lebih kuat.

e. Apabila penafsiran suatu ayat didukung oleh adanya ayat lain yang berhubungan dengan ayat tersebut lebih kuat daripada pendapat yang tidak memeliki landasan

f. Apabila terjadi perbedaan antara makna terminologi dengan makna etimologi dalam menafsirkan kalamullah didahulukan makna terminologi

2. Berpaling dari metode salafushalih

Untuk mengantarkan pembaca pada pembahasan ini, terlebih dahulu Tāhir Mahmūd Muhammad Ya’qūb menjelaskan tentang makna salafushalih yang alasan kenapa kita diharuskan mendahulukan pendapat dan penafsiran mereka.

Menurut Tāhir Mahmūd Muhammad Ya’qūb yang termasuk salafushaleh adalah sahabat, pembesar tabi’in, imam-imam besar yang adil, diakui umat atas keilmuawan dan ketakwaan mereka, memiliki posisi yang tinggi, dan perkataan mereka diterima baik dari kalangan salaf, maupun khalaf. Diantaranya. Imam arba’ah, Sofyan bin sauriy, lais bin sa’ad, ’Abd Allah bin Mubara’, dan imam hadis.

Ayat al-Qur`an banyak memerintahkan umat Islam untuk senantiasa berpegang pada pendapat salafushaleh karena ketinggian derjat dan ketakwaan mereka. Diantaranya ayat 100 surah al-Taubah. Allah berfirman;

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Keredaan Tuhan dengan sahabat dan orang yang mengikuti pendapat mereka, menandakan pendapat mereka benar dan layak diikuti. Kalimat (وَرَضُوا عَنْهُ) dipahami Muhammad Ya’qūb sebagai perintah. Lebih lanjut dia menjelaskan, umat Islam wajib mengikuti segala hal yang diredai Allah, dan alah satu dari perbuatan yang diredai Allah adalah mengikuti metode dan ajaran sahabat.[13]

Disamping mengemukakan dalil naqli, T|a>hir Mahmūd Muhammad Ya’qūb juga menyebutkan kelebihan sahabat dan metode yang mereka gunakan. Dalam menafsirkan Al-Qur`an, sahabat senantiasa berpegang pada Al-Qur`an dan sunnah serta mendahulukan keduanya dibandingkan akal. Mereka juga tidak berusaha mentakwilkan nas. Makna ayat dikembalikan pada makna dasarnya yang sahih. Kelebihan lainnya, sahabat terbebas dari pengaruh fanatisme mazhab serta pengaruh filsafat, bid’ah dan persoalan ilmu kalam. Kapasitas sahabat sebagai orang yang menguasai bahasa Arab dan mengetahui asbabun nuzul menambah kuat penafsiran mereka.[14]

Berpegang dengan pendapat sahabat dan meniru metode mereka dapat membantu mufassir terhindar dari perpecahan dan perselihan seta pengaruh bid’ah dan segala kesesatan lainnya. Berpedoman dengan metode sahabat juga akan membawa mufassir pada cara mengambil dalil dan kesimpulan yang benar.

Oleh karena itu berpaling dari metode sahabat dan mengabaikan pendapat mereka merupakan suatu kesalahan besar. Setiap orang yang ingin menafsirkan Al-Qur`an disetiap zaman harus berpegang dengan penafsiran mereka.

Syaikh Khālid ’Ak dalam kalimat yang sangat indah mengatakan ” mengembalikan pemahaman Al-Qur`an dan sunnah kepada pemahaman salafushaleh adalah perkara yang sangat urgensial. Kebutuhan akan hal ini akan terus berlanjut. Inilah tajdid yang sebenarnya, yang tetap asli dan akan menjadi dasar yang akan mempersatukan umat.”

3. Tidak paham dengan kaedah bahasa Arab

Al-Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab, suatu bahasa yang memiliki keistimewaan dari segi tata bahasa dan kandungan maknanya. Untuk sampai kepada pemahaman yang benar, seorang mufassir harus mengetahui dan memahami kaedah bahasa Arab. Ketidaktahuan dengan kaidah kebahasaan akan melahirkan kesalahan pemahaman.

4. Mengabaikan maksud turunnya Al-Qur`an dan tujuannya yang asli.

Al-Qur`an diturunkan untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia, memberikan cahaya kepada pikiran mereka, mendidik jiwa dan akal mereka. Di waktu yang sama Al-Qur`an memberikan solusi yang benar atas segala persoalan yang berhubungan dengan kehidupan manusia.

Untuk sampai pada pemahaman yang benar, maka mengetahui maksud dan tujuan diturunkannya Al-Qur`an adalah syarat terpenting yang harus dimiliki mufassir ketika ingin menafsirkan Al-Qur`an.[15]

PENUTUP

Dari keseluruhan pembahasan tersebut, kita dapat memperoleh pengertian bahwa penjelasan terhadap makna al-Quran merupakan suatu keharusan. Tetapi keharusan tersebut, di samping memerlukan kehati-hatian, juga memerlukan persyaratan yang tidak selayaknya dilanggar. Meskipun beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama tersebut merupakan hasil ijtihad, tetapi minimal dapat dipahami sebagai patokan dasar yang selayaknya diperhatikan. Pelanggaran terhadap patokan-patokan dasar tersebut, memang, adakalanya tidak menimbulkan kesalahan interpretasi, tetapi kemungkinan terjadinya kesalahan akan menjadi lebih besar.
Di samping itu, sejauh yang telah diupayakan oleh para ulama untuk menaati rambu-rambu yang menjadi patokan dasar tersebut, tetapi dalam realitasnya kesalahan interpetasi terhadap al-Quran pun masih mungkin terjadi. Untuk itu, sangat diperlukan ketelitian dan kehatihatian mufassir dalam memahami Al-Qur`an sehingga menghasilkan penafsiran yang benar.
Sekalipun kita tidak dapat menjastifikasi kesalahan yang ditemukan sebagai kesalahan mutlak. Terutama kesalahan yang muncul disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan. Karena tafsir sesuai denagn pengertiannya adalah upaya untuk menjelaskan kalamullah sebatas kemampuan manusia. Siapapun tidak dapat mengklaim bahwa penafsirannnya adalah penafsiran yang paling benar.

Daftar Pustaka:

Az}-Z{ahabi. Tafsi>r wa Mufassiru>n. Beiru>t: Da

Al-Sayu>ti, Jalal al-Din. Al-Itqa>n fi Ulu>m Al-Qur`a>n. Beiru>t: Da>r Ihya>` al-’Ulu>m. Jilid 2

Khalifah, Abd Rahma>n Muhamad. Dira>sat fi Man>hij al-Mufassiri>n. Beiru>t: da>r al Wafa>, Juz 2

Ibn Hayya>n. Bahr al Muh}i>t. Bairu>t: da>r al Kutub al ’Ilmiah. Juz 1

Ya’qub, T{a>h}ir Mahmu>d Muhammad. Asba>b al Khat}a`fi Tafsi>r (Dira>sah Ta`s}iliah). Da>r Ibn Jauzi.



[1] Ţāhir Mahmud Muhammad Ya’kūb, Asbāb al-Khata’ fi Tafsīr, (Riyad: Dār al-Jauziy), h. 49. Dikutip dari Ibn Taimiyah, Muqadimah fī Uşūl al Tafsīr, h. 50

[2] Thahir Mahmud Muhammad Ya’kub, Asbāb al-Khata’ fi Tafsīr, h. 50

[3] Ibrahīm Abd al Rahmān Muhammad Khalīfah, Dirasāt fi Manāhij al Mufassirīn, Beirut: Dār al wafā`, t.th. juz 2, h. 40

[4] Thahir Mahmud Muhammad Ya’kub, h. 73-74

[5] Ibn Hayyān, Bahr al Muhīt, Beirut: Dār al Kutub al-‘Ilmiyah, juz 1, hal. 104

[6] T|a>hir Mahmūd Muhammad Ya’qūb, h.141-142

[7] T|a>hir Mahmūd Muhammad Ya’qūb, h, 142

[8] Kisah-kisah israiliyat yang terdapat dalam kitab tafsir terbagi tiga. Pertama, sesuai dengan ajaran agama Islam (sesuai dengan Al-Qur`an dan Sunnah), berbeda dan bertentangan dengan Al-qur`an dan Sunnah, ada yang tidak dapat dikategorikan bertentangan atau sesuai. Sekalipun masih ditemukan kisah israiliyah dalam kitab tafsir, dimana pengarangnya terkenal sebagai mutasyaddid (ulama yang menolak kisah israiliyat) Pada umumnya adalah kisah-kisah israilyat yang sesuai dengan ajaran Islam.

[9] T|a>hir Mahmūd Muhammad Ya’qūb, h. 626. Dikutip dari Rasm al Mufti> karangan Ibn ’An, juz 1, h. 23

[10]T|ahir Mahmu>d Muhammad Ya’qu>b, hal. 924-926

[11] Surah Al-‘Ala>/87:3

[12] T|ahir Mahmu>d Muhammad Ya’qu>b, hal. 929

[13] T{a>hir Mahmu>d Muhammad Ya’qu>b, h 948

[14] [14] T|ahir Mahmu>d Muhammad Ya’qu>b, h. 950

[15]T{a>hir Mahmu>d Muhammad Ya’qu>b, hal. 1010




[1] JaLāl al-Din Al Sayūti, al-Itqān fi Ulūm Al-Qur`ān, Beirut: Dār Ihyā` al-‘Ulūm, jilid 2, h. 406